Budaya positif adalah sebuah nilai kebajikan yang menjadi keyakinan dan pada akhirnya menjadi karakter atau ciri khas dari sebuah komunitas atau lembaga. Jadi budaya positif di sekolah ialah nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan di sekolah yang berpihak pada murid agar murid dapat berkembang menjadi pribadi yang kritis, penuh hormat dan bertanggung jawab. Dalam mewujudkan budaya positif ini, guru memegang peranan sentral. Guru perlu memahami posisi apa yang tepat untuk dapat mewujudkan budaya positif baik lingkup kelas maupun sekolah. Selain itu, pemahaman akan disiplin positif juga diperlukan karena sebagai pamong, guru diharapkan dapat menuntun murid untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab.
Oleh karena itu diperlukan pemahaman yang tepat oleh guru sebagai bekal dalam mengarahkan dan menciptakan budaya positif di sekolah, dan dengan diseminasi kita bisa berbagi praktik baik, ,berbagi pengalaman dan pemahaman tentang lengkah-langkah yang bisa dilakukan dalam menerapkan budaya positif.
Tujuan dari diseminasi adalah Peserta dapat menerapkan disiplin restitusi di posisi Manajer, minimal pemantau agar dapat menghasilkan murid yang bertanggung jawab, mandiri dan merdeka, Peserta mampu menanamkan disiplin positif pada murid sebagai bagian dari budaya positif di sekolah, Peserta dapat menerapkan restitusi dalam membimbing murid berdisiplin positif agar menjadi murid merdeka.
Pada diseminasi ini kita akan fokus pada restitusi baik 5 posisi kontrol maupun segitiga restitusi. Diawali dengan pemahaman terhadap dasar yang digunakan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan di sekolah terkhusus budaya positif yaitu filosofi pemikiran Ki Hadjar Dewantara dilanjutkan dengan penguatan nilai dan peran guru, visi guru, serta strategi penerapannya di sekolah.
Pendidikan yaitu menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Oleh sebab itu, pendidik itu hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak.
Menurut Ki Hadjar Dewantara pendidik seperti seorang petani atau tukang kebun, yaitu Anak-anak itu seperti biji tumbuhan yang disemai dan ditanam, guru hanya bisa menyediakan lahan dan merawat (memupuk, menyiram, dsb), padi tidak akan tumbuh jadi jagung, demikian juga sebaliknya.
Anak bukan kertas kosong, tapi sudah ada garis-garis samar di dalamnya. Kekuatan sosio-kultural menjadi proses ‘menebalkan’ kekuatan kodrat anak yang masih samar-samar. Pendidikan bertujuan untuk menuntun (memfasilitasi/membantu) anak untuk menebalkan garis samar-samar agar dapat memperbaiki laku-nya untuk menjadi manusia seutuhnya. Jadi anak bukan kertas kosong yang bisa digambar sesuai keinginan orang dewasa.
Pendidikan yang berhamba pada anak artinya seorang guru harus mengutamakan kebutuhan siswa. Pendidikan yang berpihak pada anak dapat dilakukan dengan memberikan ruang seperti mengembangkan bakat dan minatnya. Hal ini dikarenakan sejatinya setiap anak memiliki kodratnya masing-masing. Setiap anak lahir dengan kodrat yang ada pada dirinya yang telah memiliki potensi. Anak bukanlah tabularasa atau individu yang dilahirkan tanpa isi mental apa pun yang tertanam. Oleh karena itu, pendidik harus memposisikan murid seperti sebuah kertas yang sudah memiliki sketsa yang harus ditebalkan sketsanya agar menjadi kuat dan membentuk sebuah gambar yang indah, bagus, bertujuan dan bermakna.
Untuk membimbing dan menuntun murid dalam menerapkan disiplin positif dalam rangka membentuk budaya positif di sekolah perlu dikuatkan nilai dan peran guru, serta guru diharapkan memiliki visi diri yang jelas dan terarah.
Nilai-nilai yang harus dimiliki Guru :
Sementara Peran Guru adalah :
Guru juga harus memiliki visi dimana Visi adalah kemampuan untuk melihat inti persoalan, pandangan atau wawasan kedepan dan kemampuan untuk merasakan sesuatu yang tidak tampak melalui kehalusan jiwa dan ketajaman penglihatan. Ringkasnya Visi adalah sebuah gagasan yang berorientasi pada masa depan.
Dengan penguatan nilai dan peran guru akan membantu memperlancar penerapan dan pembentukan budaya positif di sekolah. Guru telah memiliki modal dalam diri yang berupa internalisasi nilai dan perannya sehingga akan mampu memperlancar pelaksanaan tugasnya sebagai ujung tombak dalam penerapan budaya positif.
Guru perlu memahami dan menguasai konsep tentang restitusi dalam penyelesaian masalah yang terjadi dan dialami murid. Dengan prinsip restitusi membantu murid menjadi lebih memiliki tujuan, disiplin positif, dan memulihkan dirinya setelah berbuat salah. Penekanannya bukanlah pada bagaimana berperilaku untuk menyenangkan orang lain atau menghindari ketidaknyamanan, namun tujuannya adalah menjadi orang yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai.
Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004)
Untuk membangun budaya positif, sekolah perlu menyediakan lingkungan yang positif, aman, dan nyaman, agar murid mampu berpikir, bertindak, dan mencipta dengan merdeka, mandiri dan bertanggung jawab. Dalam mendisiplinkan anak maka erat kaitannya dengan melakukan kontrol. Maka untuk itu perlu dilakukan perubahan paradigma stimulus-Respon kepada pendekatan teori kontrol. Menurut pendekatan teori kontrol antara lain mengatakan bahwa semua perilaku memiliki tujuan, hanya anda yang bisa mengontrol diri anda, anda tidak bisa mengontrol orang lain .
Pada restitusi ada 5 posisi kontrol yaitu :
Posisi Manager adalah posisi kontrol yang disarankan untuk membimbing. Murid memiliki sikap disiplin yang positif yaitu murid yang mandiri bertanggung jawab dan dapat memecahkan masalah. Tujuan dari posisi ini adalah agar murid dapat berefleksi atas tindakannya. Guru akan dengan tulus memberikan pertanyaan-pertanyaan bermakna sehingga membuat murid dapat belajar dari kesalahannya dan mencari sebuah solusi untuk menyelesaikannya.
Restitusi dikembangkan oleh pakar Pendidikan Diane Gossen, berlandaskan pada teori control Dr. William Glasser. Segitiga restitusi adalah suatu proses dialog yang dijalankan oleh guru atau orang tua, agar dapat menghasilkan murid yang mandiri dan bertanggung jawab. Saat guru di posisi manajer, aspek yang dikembangkan pada murid adalah motivasi instrinsik.
Ada 3 tahapan pada segitiga restitusi yaitu menstabilkan identitas, validasi tindakan yang salah, dan menanyakan keyakinan.
Dengan menjalankan segitiga restitusi, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan bermakna, diharapkan :
Referensi :
Gossen, D.C. (1988). Restitution-Restructuring School Discipline, Revised Edition. Chapel Hill, Nort Carolina:New View Publications.
Gossen, D. (2004). It’s All About We: Rethinking Discipline Using Restitution.
Beri Komentar